Tanamkan Pemahaman Sejarah yang Tepat kepada Anak

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat menggelar Seminar dan Lokakarya (Semiloka) dengan tema "Pasamuan Jawa Tengah Benteng Pancasila, Meneguhkan Tekad Membentengi Pancasila", di Gedung Balai Mahesa, Boyolali, pada 26-27 Juli 2019.
Semiloka ini menghadirkan KH. Ubaidillah Shodaqoh (Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah) dan Sofyan Tsauri (mantan polisi teroris).
Dalam sambutan Sekda Jawa Tengah, menekankan agar semua elemen masyarakat membangun, memelihara, dan menjaga suasana sejuk dengan nilai-nilai Pancasila. Jawa Tengah sendiri sudah terkenal sebagai benteng Pancasila. Dan nilai-nilai Pancasila, itu untuk membentengi ancaman radikalisme.
***
Menurut KH. Ubaidillah Shodaqoh, untuk masyarakat tradisional yang aktif di Nahdlatul Ulama (NU) tidak ada masalah mengenai radikalisme. Masalah itu justru dari lembaga formal, terutama di kampus dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Gerakan-gerakan intoleransi dan radikalisme yang sekarang semakin marak, itu sudah dibangun "mereka" sejak lama.
Lebih jauh KH. Ubaidillah menjelaskan, kita sebagai warga harus mengisi posisi-posisi penting di masyarakat. Sehingga kita sebagai warga NU yang (sepakat) "NKRI Harga Mati" dan "Pancasila Jaya" itu bisa mengontrol dan mengarahkan kegiatan-kegiatan pemerintah untuk menguatkan Pancasila dan Negara Kesatuan RepubIik Indonesia (NKRI).
Untuk kaum muda,  KH Ubaidillah mengingatkan agar (mencari) menemukan pemahaman dari sejarah yang tepat, bahwa ada andil besar para kiai, ulama, dan jam'iyah NU di dalam mendirikan negara ini. Kita berkhidmah kepada kiai atau guru-guru dengan menjaga NKRI dan Pancasila-nya. Ini sebagai amanah dan wasiat yang harus kita lestarikan.
"Dalam berbagai forum, kita selalu mengingatkan agar selalu menjunjung tinggi eksistensi NKRI dan Pancasila," tutur KH Ubaidillah.
***
Sedangkan Semiloka ini menurut hemat KH Ubaidillah, sekadar pembicaraan atau kajian, namun  yang lebih penting adalah kesadaran dan implementasi dalam kehidupan bermasyarakat. Forum seperti ini memang perlu, namun jika tidak ada tindak lanjutnya, kesadaran itu akan jadi mubadzir.
Misalnya kita dihadapkan dengan adanya ASN (Aparatur Sipil Negara) yang terpapar radikalisme dan intoleransi. Itu harus dihadang atau diantisipasi pergerakannya. Mereka terpengaruh radikalisme itu disebabkan pengetahuan agamanya memang "minim sekali".
"Agama dianggap sebagai mi instan yang bisa di-download atau dipelajari secara singkat. Padahal, tidak demikian. Jika kita tidak punya waktu dan pengetahuan, kita ikut saja kepada yang kredibel dalam keagamaan, tentunya kepada (tokoh agama) para kiai yang belajar agama sejak dari kandungan," tegas KH Ubaidillah.
Sementara itu Sofyan Tsauri, mengharapkan semakin banyak ulama nusantara yang bisa membangun narasi-narasi kontra radikalime agar Indonesia tidak menjadi "surga" kaum radikal.
***
KH Ubaidillah menambahkan, selama ini saya melihat pemerintah sudah memberi ruang dan guidance (pegangan) kepada kita untuk bertindak dalam menghadapi radikalisme, meskipun belum maksimal.
Atas semua itu, KH Ubaidillah berpesan: pertama, ikutilah para Kiai. Karena kiai-kiai jelas pancasilais. Kemudian perkuat organisasi NU, insyaAllah akan selamat.
Kedua, pelajari sejarah. Tanamkan pemahaman sejarah kepada anak-anak, sebab, karena kurang pemahaman sejarah yang tepat, banyak anak-anak NU yang sekolah, atau kuliah di kampus, dan lain sebagainya, ketika pulang, berani mengkafir-kafirkan bapaknya. (heri, Sis, Miftah)

Posting Komentar

0 Komentar